Sangrilla
(Erabaru.or.id) - Hidup di masyarakat modern sekarang ini penuh dengan kecemasan dan ketegangan. Tingginya tingkat polusi akibat padatnya lalu lintas dan majunya industrialisasi, kriminalitas yang meningkat dan lain sebagainya memenuhi segenap ruangan. Keadaan hiruk pikuk demikian membuat sebagian orang ingin mencari apa yang disebut “tanah suci”, atau katakanlah taman sentosa yang tidak dipengaruhi dunia luar!
”Sangrilla”, istilah yang misterius ini, yang mana tanpa disadari telah menjadi kata ganti nirwana yang sama sekali terputus dengan duniawi. Sangrilla, sejak lebih dari setengah abad, sejumlah besar orang yang percaya atau pendukung Sangrilla, dari tempat yang jauh berlayar mengarungi lautan tiba di kawasan Tibet, mulai mengunjungi negeri idaman yang mengumandangkan nyanyian gembala di pedesaan yang penuh dengan alam puitis dan impian. Ibarat seperti sebuah kerinduan yang mahabesar, impian akan Sangrilla telah mengiringi manusia selama lebih dari setengah abad.
Sangrilla pernah dilukiskan dalam novel “Kaki Langit yang Hilang” oleh penulis James Hilton dari Inggris pada 1933. “Ini adalah sebuah dunia padang rumput dan gunung bersalju yang berada dalam kedamaian, terang benderang dan kekal abadi, dan ini adalah kampung halaman bangsa Tibet. Air telaga nan biru, cakrawala yang biru bersih, kitab Lamaisme yang dilukisi panji bangsa Tibet yang berwarna cemerlang, serta kuil misterius yang tampak di kejauhan terpencil. Di antara ngarai gunung bersalju lebat yang putih bersih terbentang pondok rumah yang sederhana, jagung yang berwarna keemasan digantung dari atas cucuran atap, senyum dan tawa wajah hitam remaja bangsa Tibet yang mengumbar diri bermain itu begitu polos dan naif.”
Novel tersebut tersebar luas dengan cepat setelah diterbitkan, dan sesaat menjadi topik yang hangat. Belakangan, sutradara Hollywood terkenal Frank Capra yang mendapat perlakuan dingin dari masyarakat kelas atas Amerika pernah secara khusyuk membaca karya tersebut di kereta api bawah tanah dan dimabukkan olehnya (novel). Kemudian, dengan gigih ia menginvestasikan 2,5 juta dolar AS (setengahnya dari anggaran tahunan perusahaan) mengangkat novel tersebut dan membuat filmnya yang berjudul “Tao Yuan Yen Ji” (Peninggalan Cemerlang Taman Sentosa). Dan lagu utama film tersebut “Sangrilla yang Indah ini”, semakin berkumandang di setiap sudut di seluruh dunia.
Juga terdapat sejumlah besar masyarakat, yang begitu menyinggung tentang Sangrilla, lantas segera terbayang bahwa di sana adalah gunung bersalju, gletser (aliran es), ngarai, hutan, danau, tambang emas, dan tempat terkumpulnya udara yang bersih murni; adalah “tempat kediaman setelah pulang”, paling indah dalam hati semua orang, bercahayakan mentari, tenteram, rileks, menyenangkan, hening, harmonis dan lain sebagainya. Di sanalah “surga dunia”, yaitu taman sentosa di luar duniawi.
Menurut hasil penyelidikan, kata “sangrilla” itu berasal dari bahasa Tibet. Artinya adalah taman sentosa yang tidak dipengaruhi dunia luar. Dan juga karena itu, begitu menyinggung tentang Sangrilla, sebagian besar orang akan segera membayangkan Tibet. Dan ini juga menunjukkan, bahwa kegairahan eksplorasi perjalanan ke Tibet yang baru-baru ini muncul di seluruh dunia, di mana semakin banyak orang sangat tertarik oleh keromantisan dan kemisteriusan Tibet.
Sebenarnya di manakah Sangrilla itu? Pertanyaan ini masih merupakan misteri yang belum terpecahkan hingga sekarang, ada yang mengatakan Sangrilla itu berasal dari bahasa daerah di kawasan tertentu di Tibet, daerah otonomi bangsa Tibet Di Qing, Provinsi Yunan, “Di Qing” adalah sinonimnya sangrilla, artinya dalam bahasa Tibet adalah “mentari dan bulan dalam hati”, maksudnya adalah “kampung halaman yang ideal”. Oleh karena itulah, nama Kabupaten Zhong Dian secara resmi diganti dengan sebutan “Kabupaten Sangrilla”.
Namun, pada 1999 Provinsi Shi Chuan juga secara terbuka menyatakan bahwa Sangrilla berada di Kota Dao, dan Desa Ya Ding yang berada di bawah pemerintahan Kota Dao, diubah namanya menjadi “Desa Sangrilla”. Penyelidikan dan peninjauan yang dilakukan selanjutnya, juga muncul sejumlah tempat yang dinamakan “Sangrilla” itu, di antaranya termasuk Kabupaten Dao Cheng, Provinsi Shi Chuan, Kabupaten Zhong Dian, Kabupaten Gong Shan, kawasan Li Jiang di Provinsi Yunan, dan Chang Du di Provinsi Tibet.
Justru karena nama Sangrilla telah menjadi aset yang tak kelihatan, menyebabkan perebutan nama Sangrilla pun dimulai.
Selain itu, bahkan tersebar suatu anggapan di dunia, bahwa asal-usul “Sangrilla” berasal dari kata “Xiangbala“ (Shambala) dalam kitab suci agama Buddha Tibet. Dalam kitab suci dikatakan, bahwa di suatu tempat di dunia terdapat sebuah taman sentosa yang dinamakan “Xiangbala” . Di “Xiangbala” yang indah dan subur, bangsa yang menganut berbagai macam kepercayaan hidup damai dan tenteram. Di sini tidak ada nafsu serakah, tidak ada pertarungan. Namun, di manakah sebenarnya tempat itu, dalam kitab suci tidak dijelaskan. Pada kenyataannya, di tengah masyarakat bangsa Tibet tersebar sebuah kisah yang demikian. Ada seorang pemuda demi mencari “Xiangbala” telah melintasi pegunungan dan menyeberangi sungai-sungai, dan akhirnya seorang biksu tua berkata padanya: “Tidak perlu jauh-jauh mencarinya. Xiangbala itu ada di dalam hatimu.”
Mungkin justru dikarenakan demikian, Tibet, tempat misterius yang berdiri di kaki gunung pegunungan Himalaya, baru-baru ini telah menjadi taman sentosa dalam impian sejumlah besar manusia. Selama ratusan tahun, selalu ada kaum kolonialis, petualang dan wisatawan mengunjungi Tibet. Pengunjung-pengunjung yang menempuh risiko ini, menggambarkan tentang Tibet dengan pandangan mata masing-masing yang berbeda, dan juga beberapa film Hollywood Amerika yang berkaitan tentang Tibet, sedikit demi sedikit menambah khayalan dan inspirasi romantisme misterius yang imajinatif tentang Tibet di dalam benak orang-orang. Dan selalu ada orang yang berusaha mendahului untuk menyaksikan Sangrilla, alam nirwana di dunia manusia ini.
Dan sudah sewajarnya, pedagang yang cerdik, saling berlomba mencari taman sentosa ini, berusaha sepenuhnya mengembangkan manfaat bisnis. Pengusaha dari Hongkong yakni keluarga Guo bahkan memakai kata Sangrilla sebagai nama hotelnya dan selanjutnya menjadi mode di dunia, menjadi salah satu lambang tertinggi hotel berbintang. Tahun 1971, Sangrilla di Hongkong dan Singapura (ada juga di Jakarta) menjadi nama hotel yang bergengsi di negara setempat. Sejak itu “Sangrilla” menjadi oasis yang dapat menghilangkan kelelahan bagi wisatawan, dan mernjadi pronominal (kata ganti) taman sentosa pada masyarakat realistis yang memilih menghindari kebisingan.
Istilah “Sangrilla” yang indah ini, telah mewakili alam kayangan dalam impian yang sempurna serta idaman dalam hati orang-orang; ia, mungkin berada di tempat yang jauh di kaki gunung pegunungan Himalaya, namun mungkin juga berada di dalam hati kita, namun yang tidak diragukan adalah, bahwa rasa gaib yang supernatural ini, bukankah justru telah mewakili sanubari kita terhadap keinginan dan kerinduan akan tanah yang suci itu. Kerinduan untuk kembali ke jati diri kita, ke tempat asal kita.
(Artikel: Zhong Qi Wei, http://www.dajiyuan.com)
http://www.erabaru.or.id/k_17_art_27.htm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar